close
Artikel Pendidikan Jangan Hingga Mencetak Robot! - Tulisan-Tulisan Kuliahku

Halaman

Selasa, 17 Juli 2018

Artikel Pendidikan Jangan Hingga Mencetak Robot!

Sistem pendidikan idealnya mencetak lulusan yang bisa berpikir kritis, kreatif, inovatif, dan siap menghadapi perubahan. Namun yang terlihat dari sistem pendidikan di Indonesia justru sebaliknya. Pendidikan hanya menjadi formalitas untuk mendapat nilai tinggi yang bahkan tidak sanggup dipertanggungjawabkan. Peserta didik hanya dibebankan pada banyak kiprah dan PR sehingga seringkali tidak mendapat kesempatan untuk berkreasi sesuai bidang yang mereka sukai.

Sistem pendidikan idealnya mencetak lulusan yang bisa berpikir kritis Artikel Pendidikan Jangan Sampai Mencetak Robot!

Sistem pendidikan ketika ini juga mematikan kreativitas dan menghasilkan lulusan robot, yakni lulusan yang hanya bisa bekerja di bidang statis dan hanya jalan di tempat. Pekerjaan itu nantinya akan digantikan oleh robot sungguhan. Menurut penelitian dari Frey dan Osborne (2013), diperkirakan 47 persen pekerjaan berisiko digantikan oleh komputer. Pekerjaan yang paling berisiko yaitu pekerjaan yang membutuhkan keterampilan rendah. Ketika teknologi semakin berkembang, pekerjaan yang bersifat repetitif akan digantikan oleh komputer atau robot.

Komputer tidak hanya membantu pekerjaan, tetapi juga mengambilalih pekerjaan manusia. Kita sudah melihat fenomena berkurangnya lapangan kerja akhir komputerisasi pada Industri 3.0. Pekerjaan ibarat manajemen yang dulu membutuhkan banyak tenaga kerja untuk mengetik dan mengelola arsip dan dokumen, sekarang semuanya bisa dilakukan hanya dengan beberapa staf manajemen beserta komputernya. Pabrik yang dahulu membutuhkan banyak tenaga kerja sekarang sanggup berproduksi jauh lebih banyak dengan jumlah tenaga kerja yang sama bahkan lebih sedikit.

Industri sudah mulai menuju kala Industri 4.0, yang ditandai dengan penggunaan teknologi yang terintegrasi dan pemanfaatan internet dalam industri. Hasilya berupa industri yang jauh lebih efisien, menghasilkan produk yang lebih banyak dengan tenaga kerja yang jauh lebih sedikit. Sudah siapkah SDM Indonesia menghadapi hal tersebut?

Seharusnya tidak perlu mengkhawatirkan penurunan angka lapangan kerja akhir kecanggihan komputer dan robot ketika ini. Karena ketika pekerjaan repetitif digantikan oleh komputer atau robot, maka insan bisa berfokus pada pekerjaan yang memerlukan kreativitas dan analisa tinggi. Meskipun telah berkembang teknologi kecerdasan buatan, akan tetapi hal tersebut masih sangat jauh prosesnya untuk mendekati kecerdasan manusia. Selain itu, perkembangan teknologi juga akan menghasilkan lapangan pekerjaan baru. Siapa yang akan menyangka bahwa ketika ini ada profesi analis media sosial, perancang aplikasi, dan lainnya yang berkaitan dengan komputer?

Maka dari itu, setiap orang harus menguasai keterampilan komputer. Akan tetapi, keterampilan teknis ibarat menjalankan komputer, memakai internet, dan menguasai perangkat lunak komputer tidaklah cukup. Untuk menghadapi ketidakpastian pekerjaan alasannya yaitu komputerisasi dan robotisasi, keterampilan yang harus dimiliki setiap orang yaitu keterampilan pemrograman. Untuk menguasai keterampilan tersebut, penerima didik perlu diajarkan bahasa pemrograman. Meskipun sudah ada spesialisasi pemrograman, setidaknya setiap orang tahu dasar-dasar bahasa pemrograman dan bagaimana citra dunia pemrograman. Bahasa pemrograman semestinya dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan Indonesia di samping bahasa ibu dan bahasa asing.

Ketika sistem pendidikan menghasilkan lulusan yang tidak hanya menguasai teori, tetapi juga bisa berinovasi dan mengimplementasikan hasil penemuan tersebut dalam bentuk aktivitas komputer atau robot, maka semakin meningkatlah produktivitas SDM Indonesia yang sangat diperlukan untuk bersaing dengan negara-negara lain. Sistem pendidikan jangan hingga mencetak robot, tetapi mencetak lulusan pencipta robot.

Daftar Pustaka

Frey, Carl Benedikt, dan Michael A. Osborne. "The future of employment: how susceptible are jobs to computerisation?." Technological forecasting and social change 114 (2017): 254-280.

Facebook Twitter Google+

Back To Top